Minggu, 25 Januari 2009

Puisi 2

KEKASIH SEJATIKU

Kekasih Sejatiku Adalah Kesunyian

kekasih sejatiku adalah kesunyian
di dalam kegelapan
yang kuingin menjadi terang kembali

merasa kehilangan hanyalah perasaan
dalam kesendirian
yang kuingin sosok terangmu kembali

semua langkah ku
kan ku raih ( kan ku raih )
saat ku terang kembali ( saat ku terang kembali )

kekasih sejatiku adalah kesunyian
di dalam kegelapan
yang kuingin menjadi terang kembali

semua langkah ku
kan ku raih ( kan ku raih )
saat ku terang kembali ( saat ku terang kembali )

dulu kakiku hanya beralaskan setapak tanah
kepalaku pun hanya beratapkan langit kelam
kekasih sejatipun hanya kesunyian
di dalam kegelapan yang kuinginkan

semua langkah ku
kan ku raih ( kan ku raih )
saat ku terang kembali ( saat ku terang kembali )

Puisi

ANTARA CINTA dan KAWAN

Satu hari CINTA & KAWAN berjalan dalam kampung...
Tiba-tiba CINTA terjatuh dalam telaga...
Kenapa??
Kerena CINTA itu buta...
Lalu KAWAN pun ikut terjun dalam telaga...
Kenapa??
Kerena... KAWAN akan buat apa saja demi CINTA !!
Di dalam telaga CINTA hilang...
Kenapa??
Kerena... CINTA itu halus, mudah hilang kalau tak dijaga, sukar dicari
apa lagi dalam telaga yang gelap...
Sedangkan KAWAN masih lagi tercari-cari dimana CINTA & terus menunggu..
Kenapa??
Kerana... KAWAN itu sejati & akan kekal sebagai KAWAN yang setia...kan ??
so, hargai lah KAWAN kita selagi kita terasa dia BERARTI....
Walau kita punya couple, teman tetap yang paling setia.
Walau kita punya harta banyak, teman tetap yang paling berharga.
Kirim balik jika anda anggap saya sebagai teman selamanya.
Kirim ke semua teman anda dan lihat brapa banyak teman yang sayang anda

Selasa, 20 Januari 2009

Cerita Misteri

Ni.... cerita gW waktu lomba di Tingkat Kalimantan Barat.
waLau hANya jUAra 2, Gw bERsyuKUr bangeT!!!

Keangkeran Gunung Sari

Ya... ini deh judulnya.... meT bACa aj Yach

jANGan lUPa kOMennya juGa....


Waktu telah menunjukkan pukul 10.15 wib tetapi suasana kelas gaduh. Mereka semua diibaratkan anak ayam kehilangan induknya. Kegiatan pembelajaran sabtu ini terhenti disini karena Bu Rita sakit. Aku merasa kesenian kali ini tidak asyik. Janjinya untuk bernyanyi dengan iringan gitar hanya tinggal janji mengingat minggu depan libur.

Di sini kami merasa seperti di dalam gua, maklumlah di belakang kelas kami terdapat kantin sehingga lubang keluar masuk udara sedikit. Hal ini juga dikarenakan warna kelas yang menyerupai senja. Temanku banyak yang bermain diluar. Sedangkan sang juara hanya membaca buku sambil bersandar pada tembok depan kelas, aku segera keluar dari kelas dan duduk di bawah pohon beringin.

Aku bersantai di bawah pohon dan kemudian Budi datang mengagetiku, “Hei…(teriaknya nyaring) Kenapa lesu?”tanya temanku Budi. Aku pun membalas pertanyaannya,”Tak perlu ditanya, semua pun tahu, Bud”. ”Memangnya semua tahu apa?’tanyanya. “Ya ampun Budi... Kamu telmi ya. Gara-garanya kita tidak jadi main,”balasku kesal. Dengan muka seribu tahu ia menjawab,”Bermain gitar, kan?”. “Ya ialah Bud, masa ya ia dong, Mulan saja Jamella masa Jamedong,”jawabku kesal.

“Dor,”teriak dua orang di belakangku. Kuperhatikan wajahnya dan ternyata Aditya dan Debby. Segera mereka berdua merebahkan diri mengikutiku dan budi. Terasa angin bertiup dengan lembutnya membelai tubuh kami. Hilang rasa penat kami yang tak tertahankan. Debby pun memulai ceritanya. Ceritanya tentang keangkeran Gunung Sari dan penghuninya. “Katanya, di Gunung Sari banyak terpendam cerita mistis yang berbau gaib. Disitu pula tempat tinggal bermacam jenis hantu,”ucap Debby. Aku tak percaya dengan hal itu. Karena kupikir aku adalah orang yang beragama dan berpendidikan. Bagiku itu hanya cerita bualan belaka. Kalau pun ada hanya rekayasa seperti di televisi.

Debby melanjutkan ceritanya lagi. Ia mengatakan bahwa ada dua jalan yang dapat dilewati untuk mencapai puncak. Yang pertama melewati pintu gerbang area perkebunan durian atau yang kedua melewati bangkai vila yang jalannya terdiri dari tangga semen yang tampak tak terawat. Nah, konon katanya barang siapa yang melewatinya ketika hujan panas maka mata kalian akan mengalami kelainan ketika sampai pada ujung tangga atau bukit pertama. Mata kita seakan-akan melihat vila itu berdiri megah. Tak jarang orang yang mengalami itu dihampiri seorang kuntilanak yang menyamar menjadi pembantu. Pembantu itu kemudian mengajak berteduh di dalam vila tersebut dan akhirnya menjadi korban. Sungguh mengerikan bukan? Sudah banyak orang yang percaya dengan hal itu. Kemudian jangan sekali-kali kalian mengencingi atau meludah divila dan sekitarnya. Jika kalian melanggarnya maka ketika sampai di bukit pertama atau kedua kalian akan menemukan hal-hal yang aneh/mengerikan. Untuk hal ini tidak bisa diceritakan oleh korban karena mereka masih trauma.

Selanjutnya ketika sudah sampai di bukit pertama, istirahatlah sebentar, jangan melanjutkan perjalanan. Kalau membangkang maka sekitar 10 M, kaki kalian keram dan pasti perlu istirahat bukan? Di sana terdapat sebuah pohon beringin tua dan bersebelahan dengan kuburan yang tak terawat. Jika kalian berada dibawah pohon itu akan terasa akar gantung seolah-olah melilit kaki kalian. Tenanglah! Jika kalian terkena lilitan janganlah berlari. Baca saja bismillah seraya meninjak akar gantung tersebut maka akar itu akan menjadi debu. Tetapi kalau kalian lari, maka tangan dari dalam tanah akan menahan kaki kalian. Untuk lepask dari tangan-tangan tersebut hendaknya membaca astarfirullah sebanyak tiga kali.

Jika kalian tidak terkena hal tersebut maka sampailah pada bukit kedua. Di bukit kali ini pemandangan alam Kota Singkawang sangat indah. Terlihat laut, gunung, perkotaan, persawahan dan lainnya. Kalau kalian ingin melanjutkan perjalanan silakan, tetapi jalan yang akan ditempuh akan lebih sulit karena jalan melewati jurang. Tetapi kalau mau berbalik silakan saja asalkan pada saat pulang cuaca masih bagus. Jangan sampai cuaca hujan gerimis apalagi hujan panas.

“Teng...teng...teng....,”bel pulang berbunyi. Segera kami mengambil tas masing-masing. Debby bercerita terlalu panjang membuat kami lupa waktu. Segera aku berlari mengambil sepeda dan pergi menuju pintu gerbang. Ku tunggu temanku di jalan biasa kami pulang bersama. Oh, itu dia. Aditya dan Budi keluar dan segera menghampiriku. Mereka mengajakku pulang bersama. Selanjutnya kami pun pulang menyusuri Jalan Diponegoro.

Di perjalanan aku mengajak mereka berdua untuk pergi ke gunung besok. Tampak wajah mereka ragu saat menjawab “ia”. Keringat tampak mengalir di wajah Aditya. Aku tidak tahu apakah itu keringat karena panas atau keringat karena takut. Sementara itu, Budi tak menunjukkan ekspresi ketakutan. Aku salut kepadanya. Ternyata Budi tak takut sama sepertiku.”Hei, besok bagaimana kita pergi pukul delapan,” ideku. “(dengan gagah menjawab) Kalau aku sangat setuju. Kalau kamu, Dit,”tanya budi. “(menghela nafas) Yah, apa boleh buat. Kalau kalian berdua setuju ya aku setuju saja,”jawabnya malas. “Kalau begitu kita berkumpul di rumah Adit besok. Oke,”jawabku bersemangat. “Oke!”jawab mereka kompak.

Aku segera belok ke rumah karena sudah sampai. Segera masuk seraya mengucapkan salam lalu pergi ke kamarku. Ku rebahkan tubuhku yang penat di atas kasur yang empuk. Kemudian aku bangkit untuk melakukan aktivitas rutin. Tak terasa hp ku menunjukkan pukul 21.30 wib. Maklumlah malam minggu, jadi masih bisa bersantai di depan rumah. Segera masuk ke rumah, mencuci kaki dan pergi ke kamar tidur. Namun karena rasa kantuk yang menggayut mata, aku pun terhanyut dalam mimpi indah untuk melepas lelah karena besok akan memulai perjalanan menyusuri Gunung Sari untuk menguak kegaiban di sana.

Pagi pun tiba. Tampak sang surya telah bangun dari tidur lelapnya. Dengan semangat, segera ku berkemas dan pergi ke rumah aditya. Sesampainya di sana ternyata Budi dan Aditya sudah menungguku. Tidak perlu membuang-buang waktu kami segera menuju ke Gunung Sari. Setelah melewati perjalanan yang tak terlalu jauh, kami pun sampai di tempat yang dituju. Tampak di depan dua buah jalan seperti yang dikatakan oleh Debby. Langsung saja aku memilih jalan kedua melewati bangkai vila yang jalannya terdiri dari tangga semen yang tampak tidak terawat. Kami menaruh sepeda didekat pondok. Tampaknya pondok itu baru didirikan.”Hey, Do. Kamu dengar tidak ramalan cuaca semalam?”tanya Aditya.”Tidak. Memangnya kenapa, Dit?” tanyaku.”Katanya hari ini akan terjadi hujan,”jawab Aditya.”Wah, baguslah kalau hujan. Bukankah hujan itu anugrah dari tuhan. Kalau begitu segera saja kita daki gunung ini,”ajakku.”Oke, siapa takut,”jawab Budi.

Segera kami menaiki tangga yang tidak terawat.”Tangga ini agak licin! Jadi kalian hati-hati,”tegasku. Kami terus berjalan ke atas dan tampak vila yang tidak terawat. Disekitar vila ditumbuhi rumput liar yang tinggi dan meliliti vila itu. Segera kuludahi vila itu.”Hei, apa yang kau lakukan?”tanya Budi.”Jangan kau lakukan itu, Do!” tegur Aditya. Tenang saja. Takkan terjadi apapun.”Kalaupun terjadi ya kita pukul saja hantunya,”jawabku tanpa rasa takut. Segera kami melanjutkan perjalanan. Tidak terasa kaki kami menginjak bukit yang pertama. Karena semangat, aku meneruskan perjalanan. Dua orang temanku ragu-ragu mengikutiku.

Tidak perlu istirahat, mereka juga mengikutiku. Kulihat mereka berdua tampak gemetaran. Sekitar 10 M kami berjalan, kakiku keram. Teringat aku dengan perkataan Debby. Dengan perasaan ragu-ragu, aku beristirahat di bawah pohon beringin yang cukup tua. Di sebelahnya ada kuburan. Tubuhku gemetaran dan aku merinding. aku mulai merasa hal yang aneh. Kami merasa akar gantung telah melilit kaki kami. Keringat dingin mengalir di tubuh kami.”Aaaaaa......”teriakku.”Ya Allah, tolonglah kami,”ucap Budi. Sementara itu Aditya menangis histeris. Segeraku tarik tangan teman-temanku dan pergi meninggalkan pohon beringin. Cuaca tiba-tiba berubah menjadi gelap. Awan badai tampak menutupi sang surya. Angin bertiup kencang dan gerimis pun turun. Suasana di sana sangat mencekam. Burung-burung berterbangan. Terdengar alunan suara jangkrik, burung hantu, dan suara aneh lainnya. Segera berlari ke atas tetapi kaki kami ditahan. Tampak tangan-tangan yang pucat penuh dengan belatung menggenggam kaki kami. Segera kutendang tangan busuk itu dengan sekuat tenaga. Cengkraman pun lepas dan aku berlari menuju bukit kedua. Aditya dan Budi mengikuti caraku kemudian menyusul. Aku merasakan ketakutan yang hebat disepanjang jalan. Jalanan yang mencekam, jalan yang gelap dan suara tawa kuntilanak.”Hi...Hi...Hi...”suara kuntilanak melengking.

Terus aku lari bersama Budi dan Aditya. Tampak di depan seberkas cahaya. Kami percepat langkah kami bertiga dan berharap dapat sampai di bukit kedua. Terus ku berlari mengikuti jalan setapak yang tidak terlalu tampak. Lari dan terus berlari. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Suara tawa kuntilanak terus menyertai. Kulihat kebelakang..... Astagfirullahuladzim. Kulihat perempuan berbaju putih terbang mengikuti kami. Giginya bertaring, rambutnya panjang, dan rusak mukanya.”Aaaa........(teriakku nyaring) Kuntilanak. Semuanya, cepat lari,”ucapku. Spontan kami berlari hingga akhirnya sampai di bukit kedua. Kami lalu duduk diatas bongkahan batu besar. Langit gelap dan angin bertiup kencang. Ketakutan yang hebat melanda kami. Kurasa semakin dingin di sini. Segera aku berdiri dan melihat keadaan temanku. Tampak wajah pada bongkahan batu yang mereka duduki. Kuperhatikan baik-baik.”Astaga,”melompatku karena kaget.”Teman-teman, yang di batu itu apa?”tanyaku gugup.”Dimana?”tanya Budi.”Itu, di bawah batu,”kataku. Kamipun memperhatikan dengan seksama. Alangkah terperanjatnya kami melihat bentuk raut muka yang mengerikan. Bola mata kiri sudah pecah, sementara yang kanan keluar, mukanya penuh dengan belatung, dan berlumuran darah serta nanah yang berbau busuk. Titik-titik air hujan membasahi kami. Bersamaan itu pula di depanku tampak makhluk kecil dengan perut yang besar dan bernanah.”Astagfirullah... ada tuyul,”teriakku. Jantungku berdetak kencang. Darahku mengalir lebih deras, dan air mata tak kuasa lagi kubendung. Di wajah kami mengalir air mata. Ketakutan makin mencekam ketika tangan-tangan datang bersamaan dengan makhluk berbulu lebat dengan tinggi hingga mencapai tiang listrik. Aku segera menarik tangan teman-temanku untuk kabur tetapi gagal. Kuntilanak menghadang kami. Dengan senyumnya yang sadis, kami dicekiknya. Aditya dan Budi pingsan karena ulahnya sementara aku masih terdiam. Mataku hampir tidak bisa dipejamkan. Bau tanah dan kemenyan yang kucium menyengat hidung. Dengan kentalnya aroma kemenyan yang membuat kepalaku pusing.

Kami kemudian dibawa tuyul-tuyul ke bangkai vila di bawah bukit pertama. Mulutku tak dapat mengucap. Hatiku hampir tertutup dengan kegelapan. Mulutku kucoba untuk menggerakkannya. Walaupun sedikit tapi tetap kucoba untuk membaca perlahan ayat kursi.”Allah hula illa hailla huwal hayyul qayyum, lata’ khuzuhu sinatu walana’um.” Perlahan mulutku mulai terbuka sementara suasana sangat gelap. Terdengar suara besar dari arah kananku,”Hai manusia. Hentikan bacaanmu itu.” Ku palingkan perhatian ke kanan. Sungguh mengerikan, berdiri di sampingku badan tegap tanpa kepala. Badannya berlumuran dengan darah. Bau badannya sungguh tidak tertahankan. Aku pun segera melanjutkan kalimat-kalimat yang terpenggal.”Lahuma fissama watiwama filardi, manzallazi yasfahu indahu illa biizni, ya’ lamuma baina aidihim wama kholfahum,”teriakku. Suara gaduh dan riuh. Teriakan kuntilanak, tangisan tuyul dan jeritan setan lainnya. Mereka kemudian mencambukku dengan akar pohon yang tadi kutinjak. Tanpa berpikir panjang, aku melanjutkan bacaan tadi dengan lantang. Walau badanku kesakitan akibat cambukannya tapi kutak perduli lagi, aku teriak dengan sekuat tenaga”Wala yuhittu nabisyaiim min ilmihi illa bimasya’, wasi’a qursi yuhussama watiwal ardu, wala ya’uduhu hifzuhuma wahuwal ‘ali yul adzim. Allah huakbar,”teriak aku dengan energi terakhir. Semua setan lari tunggang langgang. Aku mengucap alhamdulillah dan jatuh pingsan.

“Nak...Nak... bangunlah,”begitulah yang ku dengar. Mataku perlahan ku buka. Tampak seorang kakek tua dengan kucingnya dan rumah yang tampak sederhana.”Kakek siapa? Dan dimana teman-temanku?”tanyaku kepada kakek itu.”Tenanglah. Kakek menemukanmu pingsan di tangga dekat vila bersama dengan teman-temanmu. Teman-temanmu sedang membersihkan diri di sungai dan sepeda kalian ada di samping rumah ini. Jarang sekali kami menemukan orang yang selamat dari setan-setan gunung itu,”jawab kakek lemah lembut. Aku masih teringat dengan kejadian tadi. Segera kupanggil teman-temanku dan mohon pamit pada kakek. Kami kemudian pulang kerumah masing-masing. Kurasa ini akan jadi pelajaran yang paling berharga seumur hidupku bahwa kita hidup berdampingan dengan makhluk lain dan aku berjanji tidak akan mengganggu kehidupan makhluk lain.